Generasi Milenial Rentan Mengalami Gangguan Jiwa – Barangkali belum banyak dari kita yang tahu bahwa tanggal 10 Oktober ini diperingati sebagai Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (HKJS). Padahal, kampanye yang dilakukan untuk meningkatkan awareness terhadap pentingnya Kesehatan Jiwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang sehat fisik maupun mental ini telah dimulai sejak Oktober 1992 lho.
Spesial pada peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2018 ini, temanya adalah “Young People and Mental Health in a Changing World”, sehubungan dengan ketetapan World Federation of Mental Health (WFMH) untuk memfokuskan perayaan HKJS tahun ini pada generasi muda dan dampak perubahan dunia pada kalangan anak atau remaja, tepatnya yang berusia 14-28 tahun.idn slot
Subtema yang dipilih oleh WFMH pun tak lepas dari fenomena-fenomena yang saat ini sedang mengancam kestabilan jiwa generasi muda, di antaranya: www.benchwarmerscoffee.com
– Bullying
– Effects of
Trauma on Young People
– Major
Mental Illness and Young People
– Suicide
and Young People
– Gender
Identitt and Mental Well-being.
Seperti apa
sih jiwa yang sehat itu?
Berlandaskan
UU No.18 tahun 2014, bahwa Kesehatan Jiwa merupakan suasana saat seseorang
mampu berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial, sehingga ia paham
akan kemampuannya sendiri, mampu menangani tekanan, mampu bekerja secara
produktif, dan mampu memberi kontribusi untuk komunitasnya.
Terdapat
juga orang-orang dengan berbagai Masalah Kesehatan Jiwa (OMDK) merupakan orang
yang mempunyai kasus fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan,
dan/atau mutu hidup sehingga berbahaya mengalami gangguan jiwa.
Selagi itu, Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan didalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi didalam bentuk sekumpulan tanda-tanda dan/atau pergantian tabiat yang bermakna, serta mampu mengundang penderitaan dan halangan didalam mobilisasi fungsinya sebagai manusia.
Berdiskusi
mengenai tantangan-tantangan pada generasi muda yang berkembang di dalam dunia
yang tengah berubah ini, tentunya tak lepas dari kalangan millenial yang saat
ini lebih banyak menghabiskan waktunya di dunia maya (internet), ketimbang di
dunia nyata. Ternyata, hal ini menyebabkan generasi muda lebih rentan mengalami
kejahatan cyber, cyber bullying, kecenderungan mereka bermain video game yang
mengandung unsur kekerasan tanpa mereka sadari.
Kondisi
tersebut diperberat juga dengan ancaman dunia terkait semakin maraknya kasus
remaja dengan LGBTQ, menyebabkan angka percobaan dan kejadian bunuh diri, serta
angka penyalahgunaan Napza terus meningkat.
Perlu untuk
diketahui oleh kita semua, bahwa remaja yang gagal menjawab tantangan zaman
akan berada dalam bahaya yang cukup mengkhawatirkan, yaitu kemungkinan
mengalami masalah kesehatan jiwa, yang bila tak dideteksi dan ditangani sejak
dini, beresiko menyebabkan timbulnya gangguan jiwa.
Di sinilah
peran orang tua sebagai anggota keluarga terdekat, perlu memahami kondisi
tersebut sebagai bagian dari perubahan dunia. Jangan sampai keluarga gagal
memberi pendampingan dalam menjawab kebutuhan remaja saat ini secara
proporsional.
Saat tahun
2015, International Centre for Research on Woman (ICRW) mengungkap fakta-fakta
berikut:
– 84% siswa
mengaku pernah mengalami kekerasan di sekolah
– 75% siswa
mengaku pernah melakukan kekerasan di sekolah
– 45% siswa
laki-laki dan 20% siswa perempuan menyebut bahwa pelaku kekerasan adalah guru
atau petugas sekolah
Selain perihal tersebut, menurut data UNICEF 2014, ada 40% siswa usia 13-15 tahun yang melaporkan pernah mengalami kekerasan fisik oleh teman sebayanya, 50% anak melaporkan mengalami perundungan (bullying) di sekolahnya.
Menurut
hasil Riskesdas 2013 mengutarakan situasi epidemiologi gangguan jiwa di
Indonesia, di antaranya:
– Prevalensi
gangguan mental emosional terhadap masyarakat berusia >15 tahun adalah
sebesar 6% dengan prevalensi tertinggi di Provinsi Sulawesi Tengah sebesar
11,6% dan paling rendah di Lampung sebesar 1,2%.
– Prevalensi
gangguan jiwa berat masyarakat Indonesia 1,7 permil. Gangguan jiwa terbanyak
adalah di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah.
– Proporsi
RT yang dulu memasung ART gangguan jiwa berat sejumlah 14,3% dan terbanyak terhadap
masyarakat di pedesaan sejumlah 18,2%, serta terhadap golongan masyarakat
dengan indeks kepemilikan terbawah sebanyak 19,5%.
Data WHO
terhadap 2018 mengutarakan bahwa:
– Bunuh diri
adalah penyebab kematian nomor 2 terbesar terhadap usia 15-29 tahun
– Depresi
adalah gangguan jiwa yang umum diderita dan keliru satu penyebab didabilitas di
dunia, diperkirakan 300 juta orang mengalami depresi
– Gangguan
bipolar diperkirakan diderita kurang lebih 60 juta orang di dunia
–
Skizofrenia dan penyakit psikosis lain diderita 37 juta orang di dunia
– Demensia
diperkirakan diderita 50 juta orang di dunia
Terkait hal
tersebut, di tahun 2018 ini, Kementerian Kesehatan RI telah tingkatkan jumlah
layanan dan tenaga kebugaran jiwa, di antaranya:
– 48 RSJ dan
RSKO di 28 provinsi (emergensi, one stop centre, juga layanan subspesialis)
– 269 RSU
dengan layanan jiwa (emergensi psikiatri, poliklinik psikiatri, liaison
psychiatry, rawat inap)
– 3602
Puskesmas dengan layanan jiwa (penyuluhan keswa, konseling, layanan kebugaran
jiwa dasar yang terintegrasi di poli umum, kunjungan rumah, outreach,
pemberdayaan, keluarga, rujukan)
– 1028 orang
psikiater
– 451 orang
psikolog
– 6500
perawat jiwa
Dengan
mengacu terhadap fakta-fakta yang mengancam kebugaran jiwa generasi muda
selanjutnya di atas, sudah pasti Hari Kesehatan Jiwa Sedunia ini mampu
dijadikan momen oleh para pemangku kepentingan untuk bahu-membahu di dalam
rangka mewujudkaln masyarakat yang sehat jiwanya di seluruh dunia.
Di Indonesia
sendiri, Peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2018 mampu menunjang Program
Indonesia Sehat sebagai upaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang berperilaku
sehat, hidup di dalam lingkungan sehat, mampu menjangkau service kebugaran yang
bermutu untuk menggapai derajat kebugaran yang setinggi-tingginya dengan
melaksanakan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS).
Dalam sebuah
Temu Blogger di dalam rangka peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia terhadap
tanggal 4 Oktober di Ruang Naranta, Gedung Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, dr. Eka Viora, Sp.KJ mengatakan lebih dari satu aspek yang mampu
berkontribusi terhadap kebugaran jiwa selama jaman remaja, di antaranya:
– Keinginan
otonomi yang lebih besar, tekanan untuk menyesuaikan diri dengan rekan sebaya,
eksplorasi identitas seksual, peningkatan akses dan penggunaan teknologi
– Pengaruh
sarana dan norma-norma gender mampu memperburuk disparitas antara realitas
hidup remaja dan persepsi atau aspirasi mereka untuk jaman depan
– Kualitas
kehidupan di dalam keluarga, hubungan dengan teman
– Tindak
kekerasan layaknya pola pengasuhan kasar, penganiayaan, kekerasan seksual,
bullying, serta persoalan sosio-ekonomi
– Masa
remaja adalah periode penting untuk mengembangkan dan mempertahankan pola hidup
sehat, olahraga teratur, mengembangkan keterampilan untuk mengatasi maslah,
interpersonal skill, dan pengendalian emosi.
Banyak
remaja yang tinggal di tempat terkena efek darurat kemanusiaan layaknya
konflik, bencana alam, dan lain-lain. Situasi layaknya ini juga benar-benar
rentan terhadap stres dan penyakit. Olehnya itu, benar-benar penting bagi kami
untuk mengerti mengatasi bermacam kebutuhan remaja dengan situasi kebugaran
jiwa beragam.
Deteksi dan obati sedini kemungkinan gejala dan potensi persoalan kejiwaan terhadap anak, supaya kami mampu berkontribusi menciptakan generasi sehat jasmani dan rohani, demi jaman depan bangsa yang lebih cemerlang.